Oleh: Dr. Rimawan Tirtosudarmo
Saya tidak sempat bertanya mengapa beliau sendiri tidak ikut
menandatangani Surat Keprihatinan yang dibawa oleh rombongan WS Rendra ke
Leknas-LIPI, sementara ketiga koleganya, Taufik Abdullah, Thee Kian Wie dan
Melly G Tan menandatanganinya. Ketika menceritakan peristiwa itu, saya
merasakan adanya campuran antara perasaan menyesalkan dan melihatnya sebagai
semacam kenaifan politik. Membayangkan kejadian saat itu sekarang saya juga
bertanya mengapa Pak Alfian tidak ikut menandatangi Surat Kerihatinan itu.
Sebagai satu-satunya doktor ilmu politik di Leknas saat itu apa yang
sesungguhnya dipikirkannya tentang situasi politik saat itu. Saya tidak tahu
apakah ada semacam intuisi dari Pak Abdurrahman Surjomihardjo sebagai orang
Jawa yang bisa mencium iklim politik dan sikap Suharto saat itu.
Tahun-tahun ini persis sepuluh tahun Suharto berkuasa dan inilah saat
ketika pola pembangunan seperti apa dipilih. Jelas Suharto tidak menginginkan
kritik. Setelah 1978 memang muncul kata pemerataan pembangunan tapi dalam praktek
yang terjadi justru kesenjangan sosial.
Tahun 77-78 adalah tahun-tahun ketika gelombang kedua protes mahasiswa
melanda kampus-kampus besar di Indonesia. Inilah gelombang protes terbesar
setelah gelombang pertama yang meletuskan Peristiwa Malari 1974.
Peristiwa Malari adalah aksi protes pertama setelah Suharto berkuasa yang
membuat Hariman Siregar Ketua Dewan Mahasiswa UI dan Sahrir aktifis
sekaligus mantan tokoh KAMI diadili dan dipenjara. Selain pimpinan mahasiswa
tidak sedikit para intelektual kritis ditangkap dan diinterogasi,
termasuk Sarbini Sumawinata dan Soedjatmoko. Dua staf pengajar UI Dorodjatun
Kuncoro-Jakti dan Juwono Sudarsono juga sempat diajukan ke pengadilan. Sebuah political crackdown dan
pembersihan mereka yang anti terhadap Orde Baru secara besar-besaran. Saya
sudah menjadi mahasiswa UI pada tahun 1974 dan ikut berpawai dari Kampus
Salemba ke Istana Negara yang dipimpin Hariman Siregar. Di Monas kami cerai
berai disembur gas air mata dan kami diminta membubarkan diri. Pasar
Senen diberitakan sudah mulai terbakar karena ulah orang-orang Ali Moertopo
yang mau menggagalkan aksi mahasiswa. Sore dan malam itu kami tercerai berai,
saya beruntung bersama Bambang Widianto teman dari Antropologi UI yang
keluarganya menempati sebuah bagian dari Gedung Trisula di Menteng. Malam itu
dari atap Gedung Trisula kami melihat Pasar Senen yang terbakar.
Aksi-aksi mahasiswa pada 1977-78 memang tidak sespektakuler Malari
1974. Sejumlah pimpinan Dewan dan Senat Mahasiswa memang ditangkap dan ditahan
di sebuah rumah tahanan yang kemudian terkenal sebagai Kampus Kuning, tapi
sekitar 3 bulan kemudian dilepaskan. Melalui Menteri Pendidikan saat itu, Daoed
Joesoef, dikeluarkan kebijakan yang dikenal sebagai NKK/BKK (Normalisasi
Kebijakan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) yang melarang mahasiswa
melakukan kegiatan politik di kampus dan Dewan Mahasiswa dibubarkan. Sejak 1978
kegiatan politik mahasiswa mengalami represi dan baru muncul kembali 20 tahun
kemudian bersamaan dengan krisis moneter yang melengserkan Suharto 1998.
Sebagai seorang sejarawan yang mendalami gerakan kaum nasionalis, peristiwa
1974, 1977-78 dan 1998, pastilah dilihatnya dalam perspektif sejarah. Dalam
konteks sejarah pasca kemerdekaan Peristiwa 1965 mungkin menjadi sangat penting
kalau tidak yang terpenting karena dari sanalah apa yang kemudian terjadi
dengan Indonesia berawal. Saya tidak tahu bagaimana sikap Pak Abdurahman
Surjomihardjo terhadap Peristiwa 1965 karena saat meletusnya peristiwa itu dia
telah lulus dari jurusan sejarah UI seperti koleganya Adri Lapian dan
Onghokham. Pak Dur, panggilan Pak Abdurrahman Surjomihardjo, konon sempat
menjadi pembimbing skripsi Soe Hok Gie.
Sebelum di Leknas Pak Dur telah menjadi peneliti di LRKN (Lembaga
Riset Kebudayaan Nasional) yang saat itu dipimpin Pak Lie Tek Tjeng seorang
sinolog dan Pak Luhulima sebagai sekretaris. Menurut penuturan Rusdi Muchtar,
sekitar 1976-77 terjadi suasana yang tidak menyenangkan di LRKN karena
sikap pimpinannya yang otoriter. Akibatnya, sejumlah peneliti LRKN pindah
ke Leknas, di antaranya adalah Pak Adri Lapian, Pak Abdurrahman Surjomihardjo,
Pak Suhadak dan Rusdi sendiri. Rusdi Muchtar, seorang antropolog lulusan UI
sudah sejak mahasiswa tahun 1971 magang di LRKN. Saya telah kenal Rusdi sejak
pertengahan tahun 70an karena sama-sama tinggal di Asrama Daksinapati UI di
Rawamangun. Melalui Rusdi saya mulai mengenal Leknas dan mendengar
cerita-cerita penelitian lapangannya yang menarik, salah satunya tentang cerita
penelitiannya ke Gayo Aceh bersama seniornya Junus Melalatoa.
Pak Dur dan Pak Adri bergabung dengan Pak Taufik Abdullah yang
saat itu menjadi Direktur Leknas. Saya mulai bertemu Pak Dur pada awal tahun
1980an ketika mulai bekerja di Leknas dan sedikit lebih sering setelah LRKN dan
Leknas dilebur tahun 1986, dan seingat saya beliau masuk ke Pusat Penelitian
Ekonomi yang dipimpin Pak Thee Kian Wie. Peleburan dua pusat penelitian
ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan yang memiliki tidak sedikit peneliti andal di
bidangnya masing-masing itu penting dicatat dalam sejarah ilmu sosial di
Indonesia. Reorganisasi lembaga penelitian ilmu sosial dan kemanusiaan tahun
1986 itu memang tampak menarik dalam menentukan siapa ada dimana dan siapa
menduduki posisi apa. Setelah reorganisasi itu Pak Adri Lapian memimpin Pusat
Penelitian Kemasyarakatan dan Kebudayaan (PMB), Pak Alfian memimpin Pusat
Penelitian Politik, dan Pak Edi Masinambow yang keahliannya etno-linguistik
menjadi Kepala Pusat Penelitian Penduduk. "Memang harus direbut",
begitu Pak Taufik Abdullah suatu ketika menjelaskan. Sekitar masa transisi ini
Pak Mochtar Buchori, ahli pendidikan, doktornya dari Harvard, seorang
intelektual kritis, terpilih sebagai Deputi IPSK (Ilmu Pengetahuan Sosial dan
Kemanusiaan)-LIPI, saya duga juga setelah melalui proses yang berbelit. Ketua LIPI
saat itu adalah Profesor Dodi A. Tisna Amidjaya mantan Rektor ITB. Persis
ketika terjadi reorganisasi LIPI itu saya memang sedang bersiap-siap kembali ke
Canberra melanjutkan studi pasca sarjana. Praktis saya tidak terlibat
samasekali apa yang kemudian terjadi sejak 1986. Ketika 1991 saya kembali ke
LIPI proses reorganisasi itu sudah selesai dan lembaga-lembaga bentukan baru
itu sudah mulai mapan.
Setelah kembali itu barulah saya mulai sering bertemu dengan Pak
Dur meskipun tidak pernah melakukan peneltian bersama. Mungkin karena sebagai
sesama orang Tegal suatu hari dia berkata, "kita bikin penelitian tentang
Tegal yuk, premanan aja". Yang dimaksud "premanan" adalah
dilakukan sendiri tanpa harus lewat LIPI. Rencana itu sampai sekarang tinggal
rencana, kami tidak melakukan apa-apa, sampai beliau wafat. Ketika tahun
1998-2000 saya menjadi Kepala Pusat PMB sempat dikunjungi Bu Abdurrahman,
antara lain membicarakan buku-bukunya yang ingin disumbangkan ke LIPI.
Buku-buku Pak Dur memang kemudian ditempatkan di rak tersendiri di koleksi
IPSK-LIPI di Gedung PDII-LIPI bersama buku sumbangan lainnya, yang terbanyak
dari George Hicks seorang Indonesianis yang sukses sebagai pebisnis di
Hongkong. Menurut Pak Thee Kian Wie, George Hicks semula ragu-ragu, apakah disumbangkan
ke LIPI atau CSIS. Mungkin karena melihat Pak Thee dan menganggap LIPI lebih
tepat akhirnya buku-buku itu diberikan ke LIPI. Pada suatu hari, ketika
mencari sebuah buku, saya lihat buku-buku itu seperti merana tak terjamah dan
tak terpelihara. Tidak tahu bagaimana nasib buku-buku itu sekarang ketika
beberapa tahun yang lalu terjadi simpangsiur berita tentang pembuangan
buku-buku dari PDII-LIPI. Mungkin saja buku-buku George Hicks dan Pak Dur ikut
dikiloin.
Secara usia Pak Dur memang jauh di atas saya, meskipun rumah saya
di Lontrong 1 dan rumah keluarga Pak Dur di Lontrong 4 cukup dekat, di sebuah
kampung di Tegal, saya baru bertemu beliau di LIPI. Rumah keluarga Pak Dur tipe
rumah priyayi birokrat Jawa yang besar dengan pendopo dan halaman depan yang
luas, dua pohon mangga yang rindang membuat rumah itu tampak teduh. Di LIPI
pergaulan antara peneliti yang tidak satu tim penelitian antara lain melalui
seminar-seminar yang secara rutin diadakan. Dalam menyampaikan pendapatnya, Pak
Dur yang memiliki sosok tinggi besar dengan suaranya yang khas dan bahasa
Indonesia yang agak medok logat Tegal-nya, agak mirip tokoh Bima, dalam
pewayangan Jawa. Seperti Bima, Pak Dur kalau berbicara juga tegas lugas, tidak
basa-basi, meskipun kadang disertai sedikit senda gurau. Ketika Gus Dur, jauh
sebelum menjadi presiden berbicara dalam sebuah seminar di LIPI, antara
keduanya terlihat saling lempar guyonan yang membuat seminar itu menjadi begitu
cair dan informal. Seperti biasa sebelum dapat giliran bicara Gus Dur seperti
tertidur dan sempat digodain Ulil Absor Abdalla. Begitu bangun Gus Dur nyletuk,
“orang lagi semedi kok dibilang tidur”, kontan semua hadirin tertawa.
Setelah di Leknas salah satu penelitian penting
yang dilakukan Pak Dur adalah tentang sejarah pers. Buku hasil penelitiannya
itu kemudian ditarik oleh Departemen Penerangan karena memuat tentang
pembredelan pers. Buku itu mendapat pujian dari Atmakusumah, wartawan
senior yang lama bekerja bersama Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya yang sejak Peristiwa Malari 1974
dibredel dan tidak terbit lagi. Pak Dur seorang sejarawan yang menurut pendapat
saya sangat nasionalis dan itu sesuai dengan keahliannya tentang sejarah
gerakan kaum nasionalis, terutama peran Ki Hadjar Dewantoro dengan Taman
Siswa-nya. Seperti rekannya Pak Adri, Pak Dur juga meraih gelar doktornya dalam
usia yang agak lanjut, tentang sejarah Kota Yogyakarta, pembimbingnya juga Pak
Sartono. Sikap kritis terhadap penggelapan sejarah bangsanya, diceritakan Asvi
Warman, ketika dia marah dan menelpon penerbit Sinar Harapan yang menerbitkan
buku Pejuang dan Prajurit dari Nugroho Notosusanto
(1984) karena di buku itu foto Bung Karno saat Proklamasi hilang. Baru
pada edisi keduanya foto Bung Karno itu muncul. Bukan rahasia lagi jika pada
masa itu para sejarawan kritis seperti Pak Abdurrahman dan Pak Taufik Abdullah
berseberangan dengan Nugroho Notosusanto yang sejak Peristiwa 1965 telah
menjadi pembenar sejarah utama rezim Suharto Orde Baru.
Dalam sebuah seminar tentang sejarah transmigrasi. Sultan Hamengkubuwono
X memberikan pidato kunci. Dalam makalah Sultan yang kemudian dibagikan kepada
peserta rupanya ada kutipan dari salah satu tulisan saya tentang transmigrasi.
Pak Dur yang hadir dan membaca makalah itu tidak lama setelah seminar itu usai
secara kebetulan bertemu dengan saya di lantai bawah LIPI, dan dia mengatakan
kalau tulisan saya dikutip oleh Sultan. Ketika kemudian saya membaca makalah
Sultan itu dan mencari kutipan tulisan saya di sana, saya temukan adanya
kekeliruan yang agak serius. Apa yang saya maksudkan sebagai kritik terhadap
program transmigrasi oleh Sultan justru ditafsirkan sebagai mendukung
transmigrasi. Ketika saya sampaikan hal itu pada Pak Dur dia terlihat sedikit
kaget, tapi.kemudian dia menyarankan saya untuk memberitahu sekretaris Sultan.
Rupanya Pak Dur cukup akrab dengan sekretaris Sultan dan karena itu persoalan
salah tafsir itu bisa segera diselesaikan secara cepat dan damai.
Pak Abdurrahman Surjomihardjo sebagai seorang imuwan sosial memiliki posisi sendiri di antara koleganya di LIPI. Beliau mungkin tidak terlalu exposed secara internasional namun integritas dan komitmen intelektualnya tidak ada yang meragukan. Publikasinya, terutama tentang sejarah Taman Siswa dan sejarah Pers; telah memberikan sumbangan penting tidak saja bagi dunia akademis namun juga bagi praktisi dan para aktifis penggiat perubahan di Indonesia. Tentang Pak Abdurrahman Surjomiharddjo, Bung Mochtar Pabottingi, juniornya di Leknas, mengatakan “selain teguh dalam pendirian, Pak Abdurrahman pun selalu bersikap rendah hati, juga terhadap kita yang muda-muda”.
Link:http://kajanglako.com/id-11694-post-abdurrahman-surjomihardjo.html