Buruknya kinerja ekonomi
Indonesia akibat pandemi COVID-19 berdampak pada pertambahan jumlah penduduk
miskin di Indonesia. Bank Dunia memprediksi jumlah penduduk miskin Indonesia
akan bertambah sekitar 5,6 – 9,6 juta orang pada tahun ini.
Jumlah pengangguran di Indonesia
juga diperkirakan akan meningkat akibat pandemi COVID-19. Kementerian
Ketenagakerjaan mencatat ada 1,7 juta orang yang terkena Pemutusan Hubungan
Kerja (PHK). Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) bahkan
menghitung ada sekitar 2 – 3,7 juta orang yang terkena PHK.
Untuk mengantisipasi dampak
negatif dari COVID-19, pemerintah telah mengeluarkan beberapa insentif,
khususnya untuk kelompok masyarakat miskin dan rentan. Pemerintah telah
meluncurkan beberapa program bantuan antara lain Program Keluarga Harapan
(PKH), Bantuan Sembako, Kartu Pra Kerja, dan pemotongan tarif listrik.
Sejumlah bantuan yang telah
dikeluarkan pemerintah ternyata dianggap tidak cukup untuk mengantisipasi
dampak ekonomi dari COVID-19, baik dari segi kebijakan maupun dari segi teknis.
Pemerintah dikritik karena kebanyakan program bantuan merupakan program lama
yang telah dilakukan sebelum terjadinya pandemi COVID-19, meskipun beberapa
program telah mengalami perluasan dari segi jumlah anggaran maupun jumlah
penerima bantuan. Penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) juga
dikritik karena menggunakan basis data lama yang masih kurang lengkap yang
mengakibatkan banyaknya penerima bantuan yang tidak tepat sasaran.
Salah satu hambatan dari
penyediaan bantuan yang diberikan pemerintah adalah adanya persyaratan (conditionality) yang harus dipenuhi oleh
penerima bantuan untuk mendapatkannya. Sebagai contoh, syarat penerima PKH
adalah keluarga miskin yang minimal memenuhi satu kriteria seperti adanya ibu
hamil/nifas dan anak balita atau adanya anak usia 7 – 15 tahun yang bersekolah
sebagai anggota rumah tangga.
Dalam kasus krisis akibat
pandemi, masyarakat yang berhak menerima bantuan kemungkinan besar lebih banyak
dari yang telah ditargetkan oleh pemerintah melalui persyaratan tertentu,
padahal mereka seharusnya layak mendapatkan bantuan. Terlebih jumlah masyarakat
yang rentan serta miskin akibat pandemi menjadi sangat dinamis.
Karena itulah, sebuah ide lama
kembali muncul dan menjadi semakin populer diperbincangkan sebagai cara efektif
untuk memberikan jaminan sosial pada masa pandemi, yaitu universal basic income atau sering kali hanya disebut sebagai basic income.
Basic income memiliki karakter yang berbeda dibandingkan bantuan
lainnya. Pertama, bentuk dari bantuan harus berupa uang tunai. Kedua, penerima
bantuan adalah individu bukan keluarga ataupun komunitas. Ketiga, universality, artinya seluruh orang akan
mendapatkannya. Keempat, unconditional,
yaitu tanpa syarat yang mengikat. Kelima, bantuan diberikan secara periodik.
Dalam konteks pandemi, basic income memiliki banyak keunggulan
dibandingkan program lain, terutama dalam hal kemudahan. Pemerintah tidak perlu
memastikan masyarakat memenuhi persyaratan tertentu untuk memberikan bantuan
karena semua orang akan mendapatkannya. Pemerintah juga tidak perlu melakukan monitoring karena setiap orang bebas
menggunakan basic income secara lebih
leluasa.
Sonny Mumbunan dari Basic Income Lab Universitas Indonesia
mengatakan bahwa bantuan tunai dari pemerintah untuk semua orang dapat lebih
menjamin masyarakat agar tetap tinggal di rumah selama pandemi. Pada akhirnya, basic income dapat memberikan andil agar
kurva pandemi di Indonesia semakin melandai.
Bagi masyarakat kelas menengah, basic income pun bermanfaat untuk
menjaga mereka agar tidak jatuh menjadi masyarakat rentan atau miskin. Basic income juga dapat menjamin seluruh
masyarakat memiliki daya beli sehingga dapat memperbaiki sisi permintaan di
tengah krisis yang sedang terjadi.
Namun, basic income juga masih mendapatkan banyak penentangan, khususnya
mengenai layak atau tidaknya masyarakat kelas atas turut menerima bantuan.
Dalam kondisi yang ideal, basic income
yang diberikan pemerintah kepada masyarakat kelas atas seharusnya akan kembali
kepada negara melalui pajak yang mereka keluarkan. Sementara di Indonesia,
kondisi perpajakan masih perlu dikelola dengan baik.
Banyak masyarakat kelas atas yang
tidak membayar pajak. Pada tahun 2019, realisasi penerimaan pajak hanya
mencapai 84,4 persen dari target dengan shortfall
sebesar Rp 245,5 triliun. Hal ini menandakan redistribusi pendapatan yang
diharapkan terjadi dari penerapan pajak masih belum terjadi.
Pemerintah juga harus memiliki kapasitas
fiskal yang besar untuk membiayai seluruh penduduk. Contohnya, jika pemerintah
ingin memberikan basic income sebesar
Rp 1 juta kepada 270 juta penduduk Indonesia selama tiga bulan, pemerintah
harus menyiapkan dana sebesar Rp 810 triliun. Sementara saat ini, pemerintah ‘hanya’
menganggarkan Rp 686,2 triliun untuk penanganan COVID-19 dan hanya 29,7
persennya yang digunakan untuk program bantuan sosial.
Masalah lainnya adalah adanya ketimpangan
pendapatan dan inflasi daerah di Indonesia yang berpengaruh pada perbedaan Upah
Minimum Regional (UMR) antar daerah. Pada tahun 2020, UMR Kota Jakarta dan
Surabaya misalnya mencapai Rp 4,2 juta. Sementara itu, masih di Pulau Jawa, UMR
Kabupaten Gunungkidul hanya sebesar Rp 1,7 juta. Perbedaan kondisi ekonomi di setiap
daerah dapat menimbulkan ketidakadilan jika seluruh penduduk di Indonesia
diberikan basic income dengan jumlah
yang sama.
Jika ingin diterapkan di
Indonesia sebagai bantuan di masa pandemi, kebijakan yang mungkin lebih sesuai
adalah penyaluran basic income dengan
syarat tertentu. Misalnya basic income
untuk penduduk berusia 18 – 60 tahun atau penduduk dengan jenis kelamin wanita.
Penentuan persyaratan ini tentu harus dengan berbagai pertimbangan, termasuk
pertimbangan berapa jumlah bantuan yang diterima per bulannya.
Solusi lainnya adalah memperluas
persyaratan untuk penerima bantuan tunai. Jika saat ini hanya keluarga miskin
dengan kondisi tertentu yang diberikan bantuan PKH, pemerintah dapat melonggarkan
persyaratannya, seperti bantuan tunai untuk seluruh keluarga miskin dengan
pendapatan di bawah UMR.
Selain itu, pemerintah juga dapat
mengalihkan wewenang kepada pemerintah daerah untuk mengatur besaran basic income di setiap daerah serta
menggunakan kapasitas keuangan daerah untuk menyalurkan basic income kepada penduduknya.
Penerapan basic income di Indonesia memang masih harus melalui berbagai pertimbangan yang matang. Namun, untuk menghadapi situasi pandemi yang luar biasa, pemerintah tidak boleh menggunakan kebijakan yang biasa-biasa saja.
Sumber foto: https://www.ifse.ca/universal-basic-income/