
- 26 Jun 2020
- covid-19, pengangguran, silent epidemy, employer of last resort/li>
- Pihri Buhaerah, S.E., MIDEC
Pandemi Covid-19 mau tak mau memaksa
sejumlah daerah untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Imbasnya,
banyak perusahaan terpaksa merumahkan atau melakukan pemutusan hubungan kerja
(PHK) terhadap para pegawainya. Karena kehilangan sumber penghasilan, daya beli
masyarakat pun ikut menurun. Simulatan dengan itu, struktur ekonomi yang
didominasi pekerja sektor informal dan berketerampilan rendah kian memperburuk ketahanan
daya beli masyarakat saat pandemi.
Pemerintah pun merespon situasi tersebut
dengan meluncurkan sejumlah paket kebijakan seperti program stimulus fiskal, restrukturisasi
kredit, pemberian pinjaman lunak, dan lain-lain. Tak berhenti di situ, pemerintah
juga meluncurkan paket bantuan sembako, kartu Pra Kerja, pembebasan dan diskon
tarif listrik, dan lain-lain. Sayangnya, kesemua itu belum cukup efektif mendongkrak
kinerja sektor riil dan daya beli masyarakat. Bahkan, sektor riil diprediksi
hanya mampu bertahan hingga kuartal II/2020. Jika dibiarkan, Indonesia terancam
di ambang ledakan pengangguran.
Kendati demikian, jika dicermati, pengangguran
sejatinya persoalan kronis yang akan selalu ada baik saat resesi maupun saat
ekspansi (Tcherneva, 2017). Data historis dari Badan Pusat Statistik (BPS)
periode 1986-2019 menunjukkan, tingkat pengangguran tetap tinggi meski siklus
bisnis sedang berada di titik puncak. Sebagai gambaran, tingkat pengangguran
pada Februari 2007 tercatat cukup tinggi hingga mencapai 9,8 persen padahal tingkat
pertumbuhan ekonomi Indonesia saat itu mencapai 6,4 persen.
Celakanya, saat ini tidak mudah bagi perusahaan untuk berproduksi
karena selain keterbatasan bahan baku juga daya beli lagi menurun. Imbasnya, angka
pengangguran tahun ini diprediksi akan menembus dua digit atau sekitar 12
persen imbas merosotnya kontribusi konsumsi dan investasi terhadap PDB sejak
awal 2020. Prediksi tersebut dibangun di atas asumsi bahwa jumlah penganggur
dan angkatan kerja masing-masing bisa mencapai 16,68 juta dan 139,64 juta tahun
ini.
Fakta penting lainnya adalah jumlah pencari kerja akan selalu
lebih tinggi daripada lapangan kerja baik ekonomi dalam keadaan normal maupun
resesi (Tcherneva, 2017). Data BPS menunjukkan, tingkat pengangguran tertinggi
justru tercatat di provinsi yang notabene memiliki kawasan industri terbesar di
Indonesia, yakni Jawa Barat dan Banten. Bahkan, angka pengangguran di kedua
provinsi tersebut masing-masing 7,7 persen dan 7,6 persen atau selalu di atas
rata-rata nasional. Hal itu mengindikasikan bahwa pengangguran adalah persoalan
kronis yang selalu ada baik saat ekonomi normal maupun resesi.
Karena pola pengangguran seperti itu, maka angka pengangguran
saat pandemi rasanya tetap tidak akan berkurang signifikan meski pemerintah telah
mengucurkan sejumlah paket stimulus ekonomi kepada dunia usaha. Salah satu
alasannya, sifat volatilitas pengangguran yang cenderung meningkat tajam saat
resesi namun melambat saat ekonomi kembali normal (Tcherneva, 2017). Selain
itu, penurunan angka pengangguran juga membutuhkan waktu yang cukup lama untuk
kembali ke level yang normal (Tcherneva, 2017). Alasan lainnya, pengangguran
memiliki pola perilaku yang identik dengan virus. Makin lama seseorang
menganggur, maka peluang untuk mendapatkan pekerjaan berikutnya makin kecil. Akibatnya,
rasio penganggur jangka panjang terhadap total pengangguran akan meningkat.
Terkait hal itu, studi Eriksson dan Rooth (2014)
mengungkapkan bahwa seorang yang menganggur selama 9 bulan sama artinya kehilangan
4 tahun pengalaman kerja. Hal senada juga diungkapkan studi Abraham dkk. (2016)
yang menemukan bahwa waktu menganggur yang lebih lama memiliki efek negatif
terhadap kesempatan mendapatkan pekerjaan berikutnya. Artinya, di level
individu atau komunitas, pengangguran itu memunculkan biaya ekonomi dan sosial
yang tidak sedikit. Sayangnya, biaya tersebut seringkali diabaikan dalam
analisis dan desain kebijakan ketenagakerjaan.
Implikasinya, pengangguran seringkali hanya ditangani seperti
penyakit ekonomi lainnya. Padahal, pengangguran adalah penyakit kronis yang bisa
menularkan beragam penyakit sosial lainnya seperti gangguan kejiwaan,
kriminalitas, kemiskinan, perusakan lingkungan, dan lain-lain. Atas dasar itu, maka
pengangguran kali ini perlu dilihat sebagai epidemi yang tersembunyi (silent
epidemy) daripada sekadar fenomena siklus bisnis. Tanpa perubahan cara
pandang, maka penanganan pengagguran saat pandemi tetap tidak akan optimal.
Dalam konteks pandemi, pengangguran perlu ditangani layaknya
penanganan penyakit menular yang mensyaratkan adanya pelacakan yang agresif dan
penyediaan fasilitas karantina. Artinya, para penganggur kala pandemi akan ditangani layaknya penangangan pasien
Covid-19. Sebagai langkah awal, pemerintah perlu menyusun peta pengangguran
dengan mengidentifikasi dan memetakan sektor, individu, atau komunitas yang
paling rentan terkena dampak negatif pandemi Covid-19. Pada tahap ini, data-data
terkait PHK terutama PHK massal berdasarkan sektor dan wilayah wajib
dikumpulkan. Bersamaan dengan itu pula, sektor ekonomi yang mengalami lonjakan
pengangguran yang cukup tinggi perlu dimonitor secara real time.
Di luar itu, peta pengangguran tersebut juga perlu dilengkapi
dengan profil kerentanan ekonomi dan sosial masing-masing penganggur seperti
keterbatasan akses terhadap makanan, air dan sanitasi, perumahan, pendidikan,
layanan kesehatan, transportasi, dan lain-lain. Kelengkapan profil kerentanan pengangguran
secara spasial dan real time memainkan peran yang sangat krusial dalam
desain dan analisis kebijakan penanganan pengangguran saat pandemi.
Pada saat yang sama, pemerintah perlu bertindak sebagai employer of last resort (ELR) dengan memperluas program padat karya tunai (cash for work), meluncurkan investasi publik berskala besar, merancang skema jaminan pekerjaan (job guarantee), dan lain-lain. Pengalaman krisis moneter 1997/1998 yang lalu mengajarkan bahwa meski tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di angka minus13 persen (1998) dan 0,8 persen (1999) namun tingkat pengangguran tetap bisa ditekan di angka 5,5 persen (1998) dan 6,4 persen (1999).
Kondisi kali ini harus diakui memang tidak mudah dan bahkan jauh lebih kompleks karena pandemi Covid-19 hampir melumpuhkan seluruh aktivitas perekonomian. Namun, dengan memandang pengangguran sebagai epidemi tersembunyi dan ditangani layaknya pasien Covid-19, maka agenda penurunan lonjakan pengangguran rasanya tetap tidak mustahil untuk dicapai.***
(Dimuat Harian Media Indonesia edisi 26 Juni 2020)
Sumber: https://mediaindonesia.com/read/detail/323395-penanganan-pengangguran-kala-pandemi
Share: