- 16 Sep 2020
- RUU Cipta Kerja, Omnibus Law, Ketenagakerjaa/li>
- Pihri Buhaerah, S.E., MIDEC
Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (RUU Cipta Kerja) yang
diusulkan oleh pemerintah hingga kini terus saja mengundang kontroversi. Bahkan,
sejumlah pihak terutama serikat pekerja menuding substansi ketenagakerjaan
dalam RUU tersebut terlalu berpihak pada kepentingan pengusaha. Jika ditelisik
lebih mendalam, penolakan tersebut sejatinya dapat dipahami. Alasannya,
sejumlah pasal yang dihapus memang berpotensi menciptakan informalisasi pasar
tenaga kerja dalam skala yang lebih luas. Hal itu ditunjukkan dengan dihapusnya
Pasal 59 dan Pasal 66 ayat (1) dalam RUU Cipta Kerja. Dengan dihapusnya kedua pasal
tersebut, maka sistem perjanjian kerja untuk waktu tertentu nantinya bisa
diterapkan pada semua jenis pekerjaan tanpa mengenal batas waktu.
Sementara itu, dari sisi pemerintah, RUU Cipta Kerja diharapkan
dapat memangkas dan menyederhanakan berbagai regulasi yang saling tumpang
tindih sehingga iklim investasi menjadi lebih baik. Dalam konteks ini, sejumlah
regulasi yang dianggap menghambat investasi seperti UU No.13/2003 tentang
Ketenagakerjaan, UU No.40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan UU
No.24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial perlu disesuaikan dengan
situasi perekonomian nasional saat ini. Seperti diketahui, meski memiliki
sejumlah kelemahan, namun substansi ketenagakerjaan dalam ketiga UU tersebut
dianggap masih lebih baik dibanding usulan perubahan dalam RUU Cipta Kerja. Artinya,
aspek perlindungan tenaga kerja dalam ketiga UU tersebut dianggap sebagai penghambat
investasi dan perluasan tenaga kerja.
Dengan kata lain, melambatnya laju investasi dan
pertumbuhan lapangan kerja ditengarai karena pasar tenaga kerja dalam negeri
yang kurang fleksibel. Konsekuensinya, informalisasi pasar tenaga kerja
dianggap sebagai solusi permanen untuk mendongkrak investasi dan perluasan
lapangan kerja. Padahal, dominasi pekerja sektor informal dalam pasar tenaga
kerja terus meningkat dari waktu ke waktu. Badan Pusat Statistik (BPS)
mencatat, porsi pekerja informal di Indonesia mencapai 74,08 juta orang atau 57
persen dari total penduduk yang bekerja. Celakanya, tren tersebut sudah
berlangsung cukup lama. Tak berhenti di situ, struktur upah pun harus
disesuaikan karena dianggap belum mencerminkan tingkat produktivitas sehingga
menghambat investasi. Dengan begitu, kepastian berusaha bagi pengusaha dan
investor menjadi lebih terjamin.
Sayangnya, argumen yang dibangun pemerintah bersama
pengusaha mengandung sejumlah kontradiksi. Pertama, RUU Cipta Kerja tampaknya
melupakan besarnya peran konsumsi rumah tangga terhadap pertumbuhan ekonomi.
Implikasinya, informalisasi lapangan kerja dalam skala yang lebih luas jelas akan
menurunkan tingkat konsumsi rumah tangga. Alasannya, konsumsi rumah tangga yang
bersumber dari pendapatan modal relatif masih terjaga sedangkan upah pekerja
yang cenderung di bawah standar upah yang layak. Hal itu tercermin dari sisi
pendapatan modal yang terlihat belum menghadapi kendala yang cukup berarti
karena tingkat suku bunga dan indeks harga saham gabungan (IHSG) masih di level
yang kompetitif. Sementara dari sisi pendapatan upah terlihat tidak begitu positif
karena karena rasio pendapatan pekerja terhadap produk domestik bruto (PDB) masih
di bawah 40 persen (ILO, 2020).
Kedua, tuntutan kenaikan upah yang layak adalah wajar
karena Indonesia sudah memasuki fase industri manufaktur terbatas (limited
manufacturing). Laporan pembangunan Bank Dunia 2020 menyatakan, tuntutan
kenaikan upah cenderung akan meningkat saat proses industrialisasi suatu negara
telah memasuki fase industri manufaktur terbatas. Artinya, kenaikan upah di
Indonesia adalah suatu keniscayaan karena industri dalam negeri sudah masuk ke
dalam fase industri terbatas. Sayangnya, argumen yang dibangun dalam RUU Cipta
Karya masih saja menganggap kenaikan upah sebagai biang kerok melambatnya
perluasan kesempatan kerja. Sebaliknya, upah yang stagnan dianggap sebagai
instrumen penciptaan lapangan kerja yang lebih luas dan beragam.
Ketiga, secara konseptual, argumen upah murah rasanya
sudah kurang pas dengan kebutuhan saat ini karena hipotesis subsitusi sempurna
(perfect substitution hypothesis) antara modal dan tenaga kerja
sebagaimana yang dibangun dalam model upah rendah sejatinya tidak begitu kuat.
Sebaliknya, argumen Keynes yang melihat perlunya kenaikan upah guna mendongkrak
permintaan efektif dan lapangan kerja rasanya lebih relevan. Di lapangan, informalisasi
pasar tenaga kerja cenderung menyebabkan nilai tenaga kerja menjadi lebih
rendah daripada nilai sesungguhnya. Kondisi ini pada gilirannya membentuk
permintaan yang tidak efektif. Ujungnya, ekspektasi pebisnis ikut menurun dan
menyebabkan penurunan permintaan tenaga kerja.
Keempat, RUU Cipta Kerja melihat kenaikan upah secara
layak sebagai penghambat pertumbuhan lapangan kerja. Padahal, data BPS menunjukkan,
rasio pengeluaran tenaga kerja terhadap keuntungan bersih industri besar dan
sedang dalam 5 tahun terakhir masih di angka 11 persen. Artinya, argumen yang
menyebutkan bahwa kenaikan upah buruh menjadi penyebab melambatnya pertumbuhan
lapangan kerja menjadi kurang relevan. Dalam konteks ini, melambatnya
pertumbuhan lapangan kerja bisa saja karena faktor lain seperti masifnya
realokasi keuntungan bersih yang dinikmati pemilik modal ke sektor keuangan. Global
Wealth Report yang dirilis Credit Suisse (2019) mengkonfirmasi tren
tersebut. Data Credit Suisse (2019) menunjukkan, porsi kepemilikan aset
keuangan di Indonesia dalam 15 tahun terakhir meningkat cukup tajam, dari hanya
28,7 persen pada 2005 menjadi 42,3 persen pada 2019.
Di luar itu, jika dihubungkan dengan rantai pasok
global (global value chains), maka argumen yang dibangun dalam RUU Cipta
Karya tampaknya juga ditujukan untuk mengkompensasi turunnya nilai markup produsen
yang berpartisipasi dalam rantai pasok global. Seperti diketahui, markup
adalah rasio antara harga dengan biaya marjinal atau representasi keuntungan
yang dinikmati penjual untuk setiap unit produk yang dijualnya. Sehubungan
dengan hal itu, laporan Bank Dunia (2020) menyebutkan, pada periode 1980-2016 nilai
markup secara global rata-rata naik sebesar 46 persen. Namun peningkatan
tersebut lebih banyak dinikmati oleh perusahaan-perusahaan Eropa dan Amerika
Utara. Ironisnya, peningkatan partisipasi dalam rantai pasok global berarti
peningkatan markup di negara maju dan sebaliknya penurunan markup
di negara-negara berkembang.
Di sisi yang lain, produsen di negara-negara berkembang
seperti Indonesia yang ikut berpartisipasi dalam rantai pasok global umumnya
mengandalkan biaya tenaga kerja yang rendah. Namun, langkah ini tampaknya sulit
dipertahankan karena kemajuan teknologi digital telah memaksa produsen yang
berpartisipasi dalam rantai pasok global untuk berinvestasi lebih tinggi dalam
modal daripada tenaga kerja. Untuk menyiasatinya, upah pekerja berketerampilan
rendah perlu ditekan guna mengkompensasi kenaikan upah pekerja berketerampilan
tinggi supaya nilai markup tidak menurun terlalu tajam.
Singkat kata, argumen yang dibangun dalam RUU Cipta
Kerja memang mengandung sejumlah kontradiksi sehingga perlu dibaca ulang. Apalagi,
pengalaman di masa lalu mengajarkan bahwa informalisasi pasar tenaga kerja
selain tidak inklusif juga tidak akan berkelanjutan. Oleh karenanya, jika daya
saing industri kembali dibangun di atas informalisasi pasar tenaga kerja, maka
Indonesia rasanya sulit untuk keluar dari jebakan pertumbuhan ekonomi 5 persen.