
- 11 Jul 2019
- Startup, Nika Pranata, /li>
Startup Saling Klaim Prestasi, Bagaimana Kita Sebaiknya
Bersikap?
·
Luky Fitriani 2:00 PM on Jul 11, 2019
Berbagai perusahaan, termasuk startup,
sering mengutip (atau bahkan membiayai) riset yang memberi nilai dan dampak
positif pada citra masing-masing.
Menurut Nika Pranata selaku peneliti ekonomi
digital pada Pusat Penelitian Ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI), tiap perusahaan pada umumnya membutuhkan data atau bukti konkret, yang
salah satunya berupa hasil riset.
Data tersebut bisa dimanfaatkan
sebagai alat untuk meyakinkan para pemangku kepentingan. Nika menegaskan
bahwa banyak startupmengeluarkan hasil riset untuk beberapa alasan,
yakni:
- Mempertegas positioning,
- Meyakinkan stakeholder,
hingga
- Membantu
memikat investor,
terutama riset mengenai pangsa pasar.
“Makin tinggi market share, maka
bisa makin meyakinkan investor untuk berinvestasi di startup,” ujar
Nika. “Investor biasanya mempertimbangkan valuasi sebuah startup dengan
melihat seberapa besar market share-nya. Secara umum, sustainability perusahaan
dengan market share tinggi lebih baik.”
Menurutnya, riset yang dilakukan oleh startup pada
dasarnya bisa untuk menjawab pertanyaan apa pun, tergantung tujuan yang ingin
dicapai. Riset tak hanya dilakukan untuk mengukur pangsa pasar saja, tapi dapat
pula untuk mengetahui beberapa hal yakni:
- Nilai
transaksi,
- Jumlah
pengguna aplikasi dan angka unduhan, hingga
- Kontribusi
ekonomi, seperti penyerapan tenaga kerja dan mitra UMKM.
Pembuktian startup
Ada anggapan bahwa startup teknologi merupakan “perusak industri”.
Para pemain lama merasa terusik dengan perkembangan sejumlah startup yang
begitu cepat. Pemerintah pun terkadang merasa regulasi yang ada belum mumpuni
untuk mengatur perkembangan dinamis startup teknologi.
Guna mengubah persepsi tersebut, para
pelaku startup merasa perlu meyakinkan bahwa usahanya dapat
memberi dampak positif. Tak heran jika mereka berusaha menunjukkan
kontribusi usaha masing-masing kepada masyarakat, khususnya di bidang ekonomi.
Sebagai contoh, baik GOJEK dan Grab
pernah mengumumkan kontribusi perekonomian masing-masing
perusahaan untuk Indonesia. Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Indonesia melaporkan GOJEK telah menyumbang sebesar Rp44 triliun untuk Produk
Domestik Bruto dalam negeri selama 2018, sementara Centre for Strategic
and International Studies (CSIS) dan Tenggara Strategics menyatakan Grab
berkontribusi sebanyak Rp48,9 triliun.
Persaingan kedua startup ini
tak hanya di sektor ekonomi. Keduanya sama-sama mengeluarkan klaim yang menunjukkan keunggulan layanan masing-masing pada
berbagai sisi.
Untuk
meyakinkan konsumen
Nika Pranata (tengah), peneliti ekonomi digital pada Pusat
Penelitian Ekonomi LIPI
Menurut Nika, survei penting dilakukan
untuk company branding dan memetakan performa. Hasil survei
terkait pangsa pasar misalnya, startupdengan pangsa pasar tinggi
bisa memengaruhi persepsi konsumen, karena orang Indonesia cenderung
lebih percaya kepada perusahaan yang lebih banyak digunakan.
Nika menambahkan, dengan memiliki pangsa pasar
yang besar, startup akan punya nilai tawar lebih tinggi saat
berhadapan dengan regulator. Makin besar pangsa pasar, makin banyak konsumen
yang merasa regulasi baru bakal mengubah kebiasaan masing-masing menggunakan
layanan dari startupterdampak. Tak jarang banyak konsumen
bakal ikut “membela”.
Contohnya pada kasus pelarangan operasional
ojek online oleh Kementerian Perhubungan pada 2015 lalu.
Masyarakat beramai-ramai menyuarakan protes melalui media
sosial, yang kemudian menimbulkan reaksi langsung dari Presiden
Indonesia. Aturan yang sudah diteken oleh Menteri Perhubungan
pun dibatalkan.
Tak hanya soal aturan ojek online,
pada Maret 2019 lalu pemerintah juga membatalkan aturan PMK 210/2018
mengenai pengenaan pajak e-commerce. Kemunculan protes dari
berbagai pihak menjadi salah satu pertimbangannya.
Validitas
dari hasil dan metodologi riset
“Ada dua metodologi pengumpulan data yang
biasa dipakai lembaga survei, yakni survei dan ekstrak data (data mining),”
jelas Nika. Untuk survei, instrumen yang paling populer digunakan adalah polling dan
kuesioner. Sedangkan data mining biasanya bersumber dari data
internal perusahaan.
Untuk mengetahui apakah data hasil riset
tersebut valid atau tidak, harus dilihat dari metodologi yang dipakai.
“Validitas dapat dilihat dari akurasi survei, yakni bagaimana metodologi yang
digunakan, khususnya terkait teknik pengumpulan data,” ujar Nika.
“Jika
melalui survei, harus dilihat bagaimana metode pengambilan sampelnya. Harus
dipastikan bahwa pemilihan sampel atau target surveinya representatif terhadap
kondisi riilnya.”
Pengecekan data pada riset yang menggunakan
metode data miningcenderung lebih sulit. Perusahaan biasanya enggan
memublikasikan data secara detail, dengan alasan kerahasiaan perusahaan.
Misalnya hasil riset dengan metode pengumpulan data pada suatu aplikasi.
Validitasnya lebih sulit dicek, sebab datanya tertutup serta tidak bebas
diakses publik.
Menurut Nika, idealnya setiap hasil riset
memublikasikan pula metodologi dan aspek-aspek terkaitnya agar masyarakat dapat
mengecek sendiri, dan hasilnya bisa diandalkan.
Independensi
pelaku riset
Terkait independensi, riset yang dilakukan lembaga survei (pihak ketiga) cenderung lebih independen daripada survei internal. Meski demikian, perlu diperhatikan juga penyandang dana untuk melakukan riset tersebut. Tak jarang lembaga survei melakukan suatu riset atas biaya dari pihak yang punya kepentingan tertentu.
Menurut Nika, hasil riset paling independen
adalah yang dilakukan oleh pihak netral, atau lembaga yang tidak berafiliasi
dengan kedua belah pihak. Pemerintah dapat mengambil peran ini, yakni melalui
Badan Pusat Statistik (BPS).
“BPS
seharusnya juga merilis hasil survei sebagai lembaga pemerintah sekaligus yang
independen. Sebab BPS lah yang paling netral dan tidak punya kepentingan.”
Eni Lestariningsih, Kasubdit Statistik
Komunikasi dan Teknologi Informasi BPS, mengatakan pihaknya belum memiliki data
terkait layanan transportasi online. “Untuk data startup (seperti
GOJEK dan Grab), lebih tepatnya menghubungi Kominfo. Sedangkan untuk e-commerce,
BPS tahun ini baru mulai melakukan survei.”
Perlu
ditanggapi dengan skeptis
Menanggapi beragam klaim dari sederet
perusahaan yang beredar di masyarakat, masyarakat diimbau untuk berhati-hati
dan tidak langsung mempercayai klaim-klaim tersebut. Validitas dari sederet
hasil riset yang dipublikasikan tak dapat diverifikasi dengan mudah.
Hal ini juga diamini oleh Nika, menurutnya
yang perlu masyarakat lakukan untuk menyikapi adu klaim adalah dengan memeriksa
reputasi lembaga survei terkait, terlebih lagi jika adu klaim tersebut tidak
menyertakan metodologinya secara rinci.
“Masyarakat bisa melihat reputasi dan track
record lembaga surveinya. Instansi atau perusahaan mana saja yang
pernah menjadi klien. Sehingga masyarakat bisa menentukan apakah hasil riset
dapat dipercaya berdasarkan reputasinya,” tutup Nika.
(Diedit oleh Iqbal Kurniawan)
COPYRIGHT
© 2019 TECH IN ASIA. ALL RIGHTS RESERVED.